Infosiberindonesia.com-Jakarta – Imam Rozikin, Pengurus Pusat Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS) sekaligus dosen kebijakan publik, mengimbau para pengemudi ojek online agar membatalkan rencana ikut serta dalam aksi demonstrasi pada Selasa, 20 Mei 2025. Rozikin menekankan bahwa dalam konteks sosial ekonomi saat ini, langkah turun ke jalan lebih banyak menimbulkan kerugian ketimbang manfaat strategis bagi pengemudi Ojol itu sendiri maupun masyarakat luas.
“Dalam kondisi pasca pandemi dan tekanan ekonomi global, setiap hari kerja sangat berarti. Tanggal 20 Mei jatuh pada hari Selasa, ketika mobilitas warga tinggi, dan permintaan terhadap jasa transportasi daring biasanya melonjak. Ini momentum pengemudi bisa meningkatkan pendapatan mereka secara signifikan,” ujar Imam saat menyampaikan keterangan pers kepada awak media di Jakarta, Minggu (18/5/2025).
Menurut Imam, keterlibatan pengemudi Ojol dalam aksi massa berisiko memicu berbagai kerugian langsung. “Mulai dari kehilangan potensi penghasilan harian, rusaknya kendaraan, hingga sanksi dari perusahaan aplikasi,” ujarnya.
Selain itu, ditambahkan pula, keterlibatan dalam aksi yang (berpotensi) berujung anarkis juga dapat menciptakan rekam digital negatif yang bisa memengaruhi status kemitraan pengemudi di masa depan.
“Pengemudi harus mulai berpikir strategis sebagai pekerja mandiri. Dalam sistem algoritmik platform, performa harian sangat menentukan. Aksi turun ke jalan bisa berarti kehilangan bonus, insentif, dan bahkan suspensi akun. Ini kerugian jangka pendek yang konkret,” jelasnya.
Lebih jauh, Imam menyoroti bahwa dalam lanskap politik nasional, demonstrasi kerap menjadi sarana mobilisasi massa oleh segelintir elit untuk membangun citra, bukan untuk menyelesaikan persoalan substansial. Ia mengajak pengemudi untuk lebih cermat dalam membaca arah gerakan.
“Banyak yang tidak sadar bahwa isu-isu yang diangkat sering kali disengaja untuk menggiring opini atau mendongkrak elektabilitas. Tapi ketika kericuhan terjadi atau ada gesekan di lapangan, para elit ini tidak ada di sana—yang jadi korban justru teman-teman pengemudi sendiri,” katanya.
Dampak luas dari demonstrasi ini, lanjut Imam, bukan hanya dirasakan para pengemudi, tetapi juga masyarakat umum. Macet parah di pusat kota, terganggunya akses transportasi, hingga hambatan terhadap layanan darurat bisa terjadi. Ia menyebut, dalam sistem kota besar seperti Jakarta, satu titik demonstrasi bisa melumpuhkan lima simpul mobilitas.
“Masyarakat juga punya hak untuk tidak terganggu. Kalau semua pihak menggunakan pendekatan jalanan, maka yang terjadi bukan lagi kebebasan berpendapat, melainkan kompetisi gangguan publik,” tegas Imam.
Sebagai alternatif, ia mengusulkan agar perusahaan aplikasi memberikan bonus khusus dan skema perlindungan pendapatan bagi pengemudi pada tanggal 20 Mei, sebagai insentif untuk tetap bekerja. Pemerintah daerah dan pusat juga didorong membuka forum konsultasi publik, bukan hanya pada saat krisis, tetapi sebagai kanal aspirasi rutin yang partisipatif.
“Kalau kita ingin membangun keadilan digital dan ekosistem kerja yang sehat, maka cara menyampaikan pendapat juga harus evolutif. Demonstrasi bukan satu-satunya alat demokrasi. Justru dengan memperkuat ruang dialog, pengemudi akan punya posisi tawar yang lebih kuat,” tutupnya.