
Infosiberindonesia.com-Jakarta — Indonesia tengah menghadapi tiga tantangan besar dalam sektor agraria: ketimpangan penguasaan tanah, konflik yang terus meningkat, serta krisis ruang hidup rakyat. Para pemerhati agraria, termasuk akademisi dan advokat M. Sunandar Yuwono, SH, MH—yang akrab disapa Bang Sunan—menilai kondisi ini sebagai ancaman serius bagi masa depan bangsa jika tidak segera dibenahi.
Bang Sunan menegaskan bahwa persoalan agraria hari ini bukan sekadar masalah teknis pertanahan, tetapi sudah menjadi persoalan sosial, ekonomi, dan ekologis yang mengancam stabilitas nasional.
“Kedaulatan suatu bangsa ditentukan oleh cara ia mengelola tanahnya. Jika tanah hanya dikuasai oleh segelintir pihak dan rakyat kehilangan ruang hidup, maka Indonesia berada dalam ancaman serius,” ujarnya.
1. Ketimpangan Penguasaan Tanah: Segelintir Menguasai Sebagian Besar
Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia dinilai masih sangat tinggi. Sebagian besar lahan produktif—terutama untuk perkebunan, tambang, dan industri ekstraktif—dikuasai oleh korporasi besar dan kelompok elite.
Bang Sunan menyebut ketimpangan ini sebagai masalah struktural yang menimbulkan efek domino berupa kemiskinan, migrasi desa-kota, dan hilangnya kedaulatan pangan.
“Jika petani tidak punya tanah, bagaimana kita bisa bicara kedaulatan pangan? Ketimpangan tanah adalah akar ketidakadilan ekonomi,” tegasnya.
2. Konflik Agraria: Meningkat dan Semakin Kompleks
Konflik agraria di berbagai daerah terus meningkat dari tahun ke tahun. Bentuknya beragam: sengketa lahan dengan korporasi, tumpang tindih izin, kriminalisasi petani, hingga penggusuran masyarakat adat dari tanah ulayatnya.
Bang Sunan menilai, kompleksitas konflik ini disebabkan oleh lemahnya koordinasi tata ruang, tumpang tindih regulasi, dan kebijakan yang lebih berpihak pada pemilik modal dibandingkan masyarakat.
“Konflik agraria bukan terjadi dengan sendirinya. Ia lahir dari kebijakan yang tidak sensitif terhadap hak hidup rakyat,” kata Bang Sunan.
Ia menekankan pentingnya negara hadir secara adil, bukan sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai pelindung hak-hak masyarakat kecil yang selama ini termarginalkan.
3. Krisis Penguasaan Tanah: Rakyat Tersingkir dari Ruang Hidupnya
Krisis penguasaan tanah terjadi ketika masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap lahan pertanian, pemukiman, hutan, atau sumber daya alam yang selama ini menopang kehidupan mereka.
Bang Sunan menjelaskan bahwa krisis ini tampak pada tiga fenomena:
Berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan dan ekspansi industri.
Menyempitnya ruang hidup masyarakat adat, terutama di wilayah yang kaya sumber daya.
Masuknya investor skala besar yang menguasai lahan dalam jumlah besar melalui konsesi jangka panjang.
“Ketika rakyat tidak lagi punya ruang hidup, maka yang hilang bukan hanya tanah, tetapi juga martabat dan masa depan mereka,” ujarnya.
Arah Perbaikan: Reformasi Agraria Harus Menjadi Agenda Negara
Bang Sunan menyatakan bahwa untuk mengatasi tiga tantangan besar ini, Indonesia membutuhkan reformasi agraria yang sejati—bukan sekadar sertifikasi atau legalisasi aset.
Ia menawarkan tiga langkah utama:
1. Redistribusi Tanah Secara Berkeadilan
Bukan hanya membagikan sertifikat, tetapi memastikan rakyat memiliki lahan produktif untuk hidup secara layak.
2. Penataan Kembali Kebijakan Tata Ruang dan Izin Usaha
Negara harus berani membatasi penguasaan lahan oleh kelompok besar dan memulihkan hutan serta ruang adat.
3. Penguatan Perlindungan terhadap Petani dan Masyarakat Adat
Kriminalisasi harus dihentikan, dan mekanisme penyelesaian konflik harus dibuat lebih cepat dan manusiawi.
Bang Sunan: Tanah adalah Hak Hidup, Bukan Komoditas
Dalam penutupnya, Bang Sunan menyerukan agar isu agraria masuk kembali ke kesadaran publik. Ia menegaskan bahwa tanah adalah hak hidup yang tidak boleh diperlakukan semata sebagai komoditas ekonomi.
“Tanah adalah sumber kehidupan. Selama kita mengabaikan persoalan agraria, selama itu pula bangsa ini akan terus terjebak dalam konflik, ketimpangan, dan krisis ekologis,” tuturnya.


