
Infosiberondonesia.com-Jakarta — Di tengah semakin kompleksnya persoalan agraria di Indonesia, mulai dari konflik perebutan lahan hingga eksploitasi lingkungan yang masif, para pengamat agraria menilai bahwa bangsa ini perlu kembali pada akar pengetahuan yang sudah diwariskan leluhur: kearifan lokal dan pengetahuan komunitas. Pendekatan ini dinilai mampu menghadirkan tata kelola tanah yang adil, ekologis, dan berkelanjutan.
Indonesia, dengan ribuan komunitas adat dan lokal, memiliki tradisi panjang dalam mengelola bumi dengan prinsip keseimbangan. Namun, modernisasi dan ekspansi investasi sering menggeser nilai-nilai itu, sehingga praktik agraria berbasis kearifan lokal tersisihkan dan hanya tersisa sebagai folklore.
Kearifan Lokal: Pengetahuan yang Teruji Ribuan Tahun
Pengamat hukum dan agraria, M. Sunandar Yuwono, mengatakan bahwa pengetahuan komunitas adat adalah sistem yang lahir dari pengalaman panjang dan pengamatan langsung terhadap alam.
“Kearifan lokal bukan romantisme masa lalu. Ia adalah teknologi sosial dan ekologis yang teruji ribuan tahun. Sistem pengelolaan tanah tradisional menyimpan prinsip keberlanjutan yang hari ini justru kita cari-cari,” ujar Bang Sunan.
Ia mencontohkan berbagai praktik lokal seperti:
Sistem subak di Bali, yang mengatur irigasi sawah berbasis spiritual-ekologis.
Sistem leuweung larangan di Sunda, yang menjaga hutan larangan sebagai sumber air dan plasma nutfah.
Sistem sasi di Maluku, yang mengatur masa panen dan larangan mengambil hasil alam agar tidak habis.
Sistem pertanian ladang berputar di Kalimantan, yang memulihkan tanah secara alami.
Semua praktik tersebut menunjukkan bahwa keseimbangan ekologis hanya tercapai jika manusia tidak rakus dan tidak melampaui batas alam.
Krisis Agraria: Saat Ilmu Lokal Ditanggalkan
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak wilayah adat dan komunitas lokal mengalami tekanan besar akibat ekspansi perkebunan, tambang, pembangunan industri, dan proyek strategis. Dalam banyak kasus, pengetahuan lokal tidak dilibatkan dalam perencanaan sehingga terjadi benturan kepentingan dan kerusakan ekosistem.
“Kita mengalami krisis agraria karena kita memutus hubungan manusia dengan pengetahuan leluhurnya. Tanah dilihat sebagai komoditas ekonomi, bukan ruang hidup,” lanjut Bang Sunan.
Akibatnya:
Konflik lahan meningkat di berbagai daerah.
Lingkungan mengalami degradasi.
Masyarakat lokal kehilangan identitas dan ruang hidup.
Ketahanan pangan daerah melemah.
Agraria Berbasis Kearifan Lokal sebagai Solusi
Pendekatan agraria berbasis kearifan lokal menawarkan alternatif yang lebih manusiawi dan ekologis:
1. Pengelolaan lahan berbasis komunitas yang menempatkan petani, warga adat, dan masyarakat lokal sebagai subjek utama.
2. Penataan ruang berbasis lanskap budaya, bukan semata ekonomi.
3. Pemanfaatan tanah sesuai daya dukung ekologis, bukan eksploitasi berlebih.
4. Kolaborasi negara dan komunitas adat dalam pengelolaan hutan, tanah ulayat, dan sumber daya air.
5. Pengakuan hukum terhadap hak-hak adat, termasuk pemetaan wilayah komunal.
Bang Sunan menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin menyelesaikan konflik agraria tanpa memulihkan posisi masyarakat adat dan lokal sebagai penjaga bumi.
Membangun Masa Depan Agraria yang Humanis
Ke depan, para ahli mendorong pemerintah untuk memperkuat hukum agraria berbasis keberlanjutan dan kearifan lokal. Hal ini bukan hanya bagian dari identitas nasional, melainkan strategi untuk menjaga ketahanan ekologis dan pangan jangka panjang.
“Pengelolaan agraria berbasis kearifan lokal bukan langkah mundur. Ia adalah lompatan maju menuju pembangunan yang berakar, berkeadilan, dan selaras dengan alam,” tegas Bang Sunan.
Dengan kembali kepada pengetahuan komunitas, Indonesia tidak hanya merawat bumi, tetapi juga merawat jati diri sebagai bangsa yang besar karena kebijaksanaan leluhurnya.


